• Jelajahi

    Copyright © Lensasiber.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Sports

    Oku Selatan

    Ketua APDESI Aceh Tenggara Muslim Halangi Konfirmasi Pers, di Duga Pejabat Tidak Layak

    Lensasiber.com
    Sunday, August 17, 2025, 12:27 WIB Last Updated 2025-08-17T05:27:46Z

    Kutacane - di Duga Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Aceh Tenggara, Muslim, terkesan mengelak saat dikonfirmasi wartawan terkait sejumlah persoalan desa. Alih-alih memberi penjelasan, nomor WhatsApp wartawan justru diblokir. 17/8/2025


    Sikap ini dinilai mencederai prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.


    Ketua APDESI Aceh Tenggara, Muslim, yang memilih memblokir WhatsApp wartawan ketimbang memberikan keterangan publik, patut disesalkan. Tindakan itu bukan saja menunjukkan sikap anti kritik, tetapi juga berpotensi melanggar semangat keterbukaan informasi yang dijamin undang-undang. 


    Dalam konteks demokrasi, pejabat publik seharusnya tidak alergi terhadap pertanyaan media, karena justru di situlah letak akuntabilitas dipertaruhkan.


    Menanggapi hal ini, salah satu aktivis masyarakat sipil di Kutacane menilai sikap itu kurang bijak. “Pejabat publik seharusnya terbuka, bukan malah menghindar. Wartawan bekerja untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk menyerang,” ujarnya.


    Kejadian ini disebut-sebut bukan kali pertama pejabat publik di daerah menghindar dari pertanyaan media. Namun, kasus kali ini menjadi sorotan karena Ketua APDESI mewakili ratusan kepala desa di Aceh Tenggara, yang seharusnya menjadi contoh dalam transparansi dan komunikasi publik.


    Menurut pengamat media di Aceh Tenggara, sikap tersebut mencerminkan rendahnya kesadaran terhadap Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008. “Setiap pejabat publik wajib memberikan informasi yang relevan bagi masyarakat. Menutup diri apalagi dengan memblokir wartawan jelas bertentangan dengan semangat UU tersebut,” tegasnya.


    Kekecewaan juga datang dari masyarakat desa. “Kami ingin tahu bagaimana kebijakan dana desa dijalankan. Kalau wartawan saja diblokir, bagaimana mungkin informasi bisa sampai ke masyarakat?” kata Junaidi, seorang pemuda dari Lawe Bulan.


    Hal senada disampaikan oleh seorang aktivis perempuan di Kutacane. Ia menilai sikap Ketua APDESI tidak sejalan dengan tuntutan zaman. “Era digital justru menuntut pejabat publik lebih terbuka, bukan sebaliknya. Wartawan adalah jembatan informasi antara masyarakat dengan pemimpin. Kalau jembatan ini diputus, siapa yang rugi? Masyarakat sendiri,” katanya.


    Dari sisi hukum, bahwa tindakan menghindar atau menghalangi kerja pers dapat berimplikasi pada pelanggaran UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. “Memblokir komunikasi bukan pelanggaran pidana langsung, tapi jika mengarah pada penghalangan kerja jurnalistik, bisa dipersoalkan secara hukum,” jelasnya.


    Publik kini mendesak agar Ketua APDESI menjelaskan sikapnya. “Masyarakat tidak butuh jawaban panjang lebar, cukup transparan dan bersedia dikonfirmasi. Itu saja sudah cukup. Jangan seolah-olah alergi pada media,” tambah seorang tokoh desa di Babussalam.


    Peristiwa ini membuka kembali diskusi lama, masih banyak pejabat di daerah yang belum memahami peran penting media sebagai kontrol sosial. Padahal, tanpa keterbukaan informasi, pembangunan desa rawan diselimuti praktik penyalahgunaan anggaran.


    Sejumlah aktivis masyarakat kini menyerukan agar Polda Aceh maupun Inspektorat Kabupaten turun tangan mengevaluasi etika komunikasi pejabat publik di Aceh Tenggara. “Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk. Jangan sampai pejabat publik seenaknya menghalangi wartawan dengan cara memutus akses komunikasi,” tegas seorang pemerhati kebijakan publik.


    ( Syah Putra )

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini