NIAS SELATAN – Isu dugaan penyimpangan pengelolaan Dana Desa (DD) kembali menyeruak di Kabupaten Nias Selatan. Kali ini, perhatian publik tertuju pada Desa Lolosoni, Kecamatan Gomo, setelah media online Metronewstv.co.id menayangkan laporan investigatif berjudul “Dugaan Mark-Up Dana Desa Lolosoni: Transparansi Dipertanyakan.”
Dugaan penyimpangan tersebut mencuat setelah sejumlah warga menyampaikan keresahan mereka terkait ketidaksesuaian antara pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada beberapa tahun anggaran terakhir, yakni sejak tahun 2020 hingga 2024.
“Kami tidak pernah tahu pasti berapa besar dana yang turun dan digunakan untuk apa. Musyawarah desa sering hanya formalitas tanpa penjelasan rinci,” ungkap salah seorang warga kepada awak media, Senin (3/11/2025).
Masyarakat menilai, kurangnya transparansi itu membuka ruang dugaan adanya mark-up dan penyalahgunaan Dana Desa, yang jika terbukti dapat menimbulkan kerugian keuangan negara hingga ratusan juta rupiah.
Menanggapi laporan tersebut, Ketua DPC Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Kabupaten Nias Selatan, Pidar Ndruru, dengan tegas mendesak Inspektorat Kabupaten Nias Selatan agar segera melakukan audit menyeluruh dan independen terhadap pengelolaan Dana Desa di Lolosoni.
“Kami dari DPC PJS Nias Selatan mendesak Inspektorat untuk segera mengaudit Dana Desa Lolosoni secara profesional dan transparan. Apabila ditemukan penyimpangan, kami meminta Kejaksaan Negeri Nias Selatan turun langsung melakukan penyelidikan hukum sesuai prosedur yang berlaku,” tegas Pidar.
Pidar menegaskan, pengelolaan Dana Desa adalah tanggung jawab publik yang diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 26 ayat (4) yang mewajibkan kepala desa melaksanakan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Selain itu, keterbukaan informasi terkait pengelolaan Dana Desa juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mengatur bahwa setiap warga berhak mengetahui dan mengakses informasi tentang penggunaan keuangan negara di tingkat desa.
“Dana Desa adalah uang rakyat. Tidak boleh ada ruang gelap dalam penggunaannya. Jika terbukti ada penyimpangan, maka aparat penegak hukum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu,” tegasnya lagi.
Dalam konteks hukum, dugaan mark-up atau penyalahgunaan Dana Desa dapat dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga menegaskan bahwa setiap tahapan penggunaan Dana Desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Kasus ini menjadi ujian bagi Inspektorat dan Kejaksaan Negeri Nias Selatan dalam menunjukkan komitmen penegakan hukum di daerah. Masyarakat kini menanti langkah tegas kedua lembaga tersebut untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan Dana Desa Lolosoni dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan desa yang bersih dan transparan.
“Jika aparat hukum diam, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pengawasan. Negara harus hadir melindungi hak rakyat atas keadilan dan transparansi,” pungkas Pidar Ndruru.
(Ndruru)




