Nias Utara-Dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Nias Utara berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) . Capaian ini secara administratif menunjukkan bahwa laporan keuangan daerah telah disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Namun sebagai mahasiswa yang mempelajari dinamika tata kelola daerah dalam kerangka desentralisasi, saya merasa perlu mengajukan pertanyaan mendasar.
Apakah opini WTP sungguh mencerminkan keberhasilan substantif dalam pemerintahan daerah, ataukah hanya sekadar prestasi di atas kertas?
Pertanyaan ini bukan bentuk pesimisme, melainkan ekspresi tanggung jawab intelektual dan moral. Kita tidak boleh berhenti pada simbol administratif semata. Realitas di lapangan menunjukkan gambaran berbeda. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pengadaan Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2023, ditemukan sejumlah kelemahan signifikan. Di antaranya, kelebihan pembayaran perjalanan dinas sebesar Rp1,28 miliar, ketidaksesuaian proyek infrastruktur senilai lebih dari Rp3,1 miliar, serta kekurangan volume pekerjaan di sektor pendidikan dan perumahan rakyat.
Temuan ini menunjukkan bahwa kewenangan fiskal belum tentu berbanding lurus dengan efisiensi atau pemerataan anggaran.
Desentralisasi seharusnya tidak sekadar pelimpahan kewenangan administratif dari pusat ke daerah. Lebih dari itu, ia semestinya menjadi jalan menuju tata kelola yang responsif terhadap kebutuhan warga. Dalam praktik ideal, desentralisasi membuka ruang inovasi berbasis kearifan lokal, sekaligus mendekatkan pengambilan keputusan kepada masyarakat. Sayangnya, yang kerap terjadi justru sebaliknya. Banyak daerah terperangkap dalam pola kekuasaan lama, dengan transparansi dan akuntabilitas yang kian kabur.
Opini WTP dalam konteks ini kerap tampil sebagai simbol keberhasilan yang menenangkan secara administratif, tetapi menyesatkan secara substansi. Hadiz (2010) pernah mengingatkan bahwa praktik desentralisasi di Indonesia memberi peluang bagi elite lokal berwatak predatoris. Mereka memanfaatkan keleluasaan fiskal dan lemahnya pengawasan untuk memperkuat jaringan patronase dan kepentingan elektoral. Dalam situasi seperti ini, WTP menjelma menjadi alat simbolik pencitraan, jauh dari semangat pertanggungjawaban publik.
Senada dengan itu, Ostwald, Tajima, dan Samphantharak (2016) mencatat kegagalan utama desentralisasi di Indonesia terletak pada ketergantungan berlebihan terhadap kepatuhan administratif. Sayangnya, kepatuhan ini tidak diiringi peningkatan kapasitas kelembagaan maupun perbaikan mekanisme pengawasan. Laporan keuangan yang tersusun rapi tidak otomatis menjamin anggaran digunakan efisien, apalagi berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Sebagai bagian dari generasi muda yang tumbuh di era otonomi daerah, saya melihat desentralisasi sebagai peluang historis menciptakan tata kelola yang adil dan kontekstual. Namun idealisme ini dengan mudah goyah ketika keberhasilan pemerintah daerah diukur hanya melalui kelengkapan format laporan, bukan dari dampaknya terhadap kehidupan warga. Bila evaluasi hanya terpaku pada dokumen administratif, maka semangat pemberdayaan yang menjadi inti desentralisasi justru terkikis perlahan.
Kekhawatiran ini semakin relevan ketika melihat data Kementerian Keuangan dalam dokumen HKPD 2025. Walau secara nasional opini WTP terus meningkat, kesenjangan fiskal antar daerah tetap menganga dan kualitas belanja publik masih rendah. Prosedur memang berjalan, tapi hasilnya belum benar-benar dirasakan. Ini menjadi penanda bahwa penilaian kinerja pemerintahan daerah perlu beralih dari pendekatan kepatuhan menuju pendekatan berbasis kinerja.
Opini WTP sudah seharusnya tidak lagi dirayakan sebagai trofi birokrasi. Ia bukan akhir dari segalanya, melainkan pijakan menuju akuntabilitas yang lebih konkret. Pemerintah daerah harus keluar dari zona nyaman administratif dan mulai menerapkan prinsip anggaran berbasis kinerja. Setiap rupiah dari APBD mesti bisa dipertanggungjawabkan dalam bentuk capaian nyata yang dirasakan masyarakat.
DPRD tidak boleh hanya menjadi stempel formal kebijakan eksekutif. Fungsi pengawasan harus dijalankan dengan kritis, independen, dan berbasis data. Tidak cukup menunggu laporan atau melakukan sidak saat krisis memuncak. Di sisi lain, masyarakat sipil, termasuk mahasiswa seperti saya, perlu aktif mengambil bagian dalam pengawasan anggaran. Keterbukaan data dan ruang digital mesti dimanfaatkan untuk memastikan kekuasaan tetap diawasi dan pembangunan berjalan sesuai kebutuhan rakyat, bukan semata demi pencitraan politik.
Ukuran keberhasilan daerah tidak boleh lagi ditentukan oleh ada atau tidaknya predikat WTP di laporan resmi atau baliho ucapan selamat. Ukuran yang lebih bermakna adalah sejauh mana anggaran publik benar-benar mengubah kualitas hidup masyarakat. Apakah warga memiliki akses pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, infrastruktur dasar yang berfungsi, serta kebijakan yang berpihak kepada kelompok paling rentan.
Opini WTP memang penting dalam konteks tata kelola administratif. Tapi tanpa perubahan makna dan pergeseran orientasi yang berpihak pada rakyat, WTP hanya akan menjadi simbol kosong. Kita tidak butuh tata kelola yang sekadar rapi di atas kertas. Kita butuh pemerintahan yang bekerja nyata, berpihak pada kepentingan publik, dan menghadirkan keadilan anggaran.
Referensi :
● Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengadaan Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2023 pada Pemerintah Kabupaten Nias Utara. Nomor: 100/LHP/XVIII.MDN/12/2023. https://e-ppid.bpk.go.id/
● Hadiz, V. R. (2010). Localising power in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford University Press.
● Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Reformasi Fiskal dan Hubungan Keuangan Pusat-Daerah: Presentasi UU HKPD dan Arah Desentralisasi Fiskal 2025. Jakarta: DJPK.
● Ostwald, K., Tajima, Y., & Samphantharak, K. (2016). Indonesia's decentralization experiment: Motivations, successes, and unintended consequences. Journal of Southeast Asian Economies, 33(2), 139–156. https://www.jstor.org/stable/44132298.
(Sumber : Irene Berta Meida Zalukhu [Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM]/Tim Red)